RENUNGAN

Tujuan Hidup Sesungguhnya adalah mengabdi kepada-NYA

RUBRIK PENGETAHUAN

Biaya adalah kas atau nilai ekuivalen kas yang dikorbankan untuk mendapatkan barang atau jasa yang diharapkan memberi manfaat saat ini atau masa yang akan datang bagi organisasi

Minggu, 11 September 2011

PERANAN SEKOLAH DALAM MEMBENTUK KARAKTER PESERTA DIDIK

Para pakar pendidikan akhir-akhir ini telah banyak berfikir dan berikhtiar bagaimana meningkatkan intensitas dan kualitas pendidikan karakter melalui jalur pendidikan
bahkan pemerintah sendiri menuntut kepada praktisi pendidikan untuk merencanakan dan melaksanakan pendidikan karakter secara sistematis dan komprehensif. Berdasarkan grand design yang dikembangkan Kemendiknas (2010), secara sosial kultural konstruksi karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari  potensi kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik individu  dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung terus menerus. Menurut Tadkiroatun Musfiroh (UNY, 2008), karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan.  Karakter dapat terbentuk dari pembiasaan prilaku/attitudes yang terus menerus . Karakter juga terbentuk oleh lingkungan di mana seseorang itu berada. Bila lingkungan sosial seseorang tidak memungkinkan sesorang untuk menjadi baik  maka tidak menutup kemungkinan karakter seseorang akan  terbentuk menjadi tidak baik. Demikian pula sebaliknya, lingkungan yang baik akan memberikan kontribusi yang cukup besar dalam membentuk  watak  seseorang menjadi  baik. Pembentukan karakakter tidak dapat dilakukan  parsial, namun dilakukan secara komprehensif/holistik dan fundamental, sebab  watak seseorang yang telah  terbentuk lama maka akan sulit sekali untuk direkonstruksi. Sebagai misal di lingkungan keluarga, ketika anak sudah dibiasakan oleh orang tuanya makan secara tidak teratur, maka anak mengalami kesulitan dalam mengatur pola makannya. Hal yang demikian, lambat laun akan menjadi budaya dan dapat membentuk karakter anak. Di tingkatan praksis, Pendidikan karakter di lembaga formal tidak semudah membalik telapak tangan, butuh proses yang terencana dan sistematis dengan melibatkan semua pemangku kepentingan di lembaga pendidikan tersebut, seperti guru, kepala sekolah, staf adminstrasi, pegawai, wali murid, wali siswa, komite sekolah, masayarakat dan pemerintah itu sendiri. Semua unsur tersebut senentiasa bersinergi dan memiliki komitmen untuk mengkondisikan sosio kultural di lembaga itu menjadi laboratorim pembentukan karakter dan kpribadian peserta didik. Sebab nilai  moralitas sulit sekali dapat ditransformasikan dengan baik, bila salah satu unsur tadi berbeda persepsi dan tidak ada sinergisitas.  Seorang guru harus senantiasa konsisten  memberikan tauladan kepada anak bagaimana bersikap yang baik, tidak sekedar wejangan yang dapat dilontarkan kepada anak.
 Menurut ludwig klages (Bart, Leipzing, 1926), bahwa anak yang berusia di bawah 18 tahun memiliki kualitas tanggapan yang tinggi terhadap rangsangan dari luar, dan disebut kaum sensualitas artinya lebih tertarik kepada hal-hal yang kongkrit dan dapat ditangkap dengan panca indra. Jadi ketika meihat suatu gerakan yang divisualisasikan oleh seseorang, maka anak dengan cepat menanggapinya yaitu melakukan imitasi terhadap obyek yang dilihatnya. Bahkan freud (1950), tidak menggunakan istilah imitasi dalam kontesks  ini tetapi lebih ekstrim menggunakan istilah identifikasi. Identifikasi dapat didifinisikan sebagai metode yang digunakan orang dalam menghadapi orang lain dan membuatnya menjadi bagian dari kepribadiannya. Sebab menurut freud istilah imitasi mengandung arti peniruan secara dangkal, sedangkan identifikasi tidak hanya sekedar meniru tapi menginternalisasikan pada dirinya lalu mejadi bagian dari dirinya. Anak mengidentifikasi orang tuanya, peserta didik  akan mengidentifikasi  gurunya, apabila guru berbuat  baik maka peserta didik akan menanggapi baik kemudian menidentifikasi menjadi bagian dari dirinya. Demikian sebaliknya, ketika guru berbuat kasar kepada peserta didik, maka anak itu mengidentifikasinya, sehingga tanpa disadari guru tersebut telah membentuk karakter anak itu menjadi anak yang kasar. Oleh karena itu, lembaga sosial dalam hal ini lembaga pendidikan harus berkarakter sebelum memberikan warna karakter pada peserta didik, dengan kata lain lembaga pendidikan harus menciptakan atmosfir yang kondusif dan khas dalam proses pembentukan karakter peserta didik. Dengan demikian, proses kontruksi karakter peserta didik dapat bejalan optimal dengan hasil yang maksimal.
Menurut Anda, apakah pembentukan karakter anak cukup dilakukan di sekolah saja? 
Demikian, terima kasih.

2 komentar:

faktor informal yang termasuk didalamnya lingkungan adalah salah satu faktor real yang menentukan karakter setiap individu.

Ridho Firmansyah
pas bangat programnya itu,.untuk mencerdaskan khdidupan masyarakat...

Posting Komentar