RENUNGAN

Tujuan Hidup Sesungguhnya adalah mengabdi kepada-NYA

RUBRIK PENGETAHUAN

Biaya adalah kas atau nilai ekuivalen kas yang dikorbankan untuk mendapatkan barang atau jasa yang diharapkan memberi manfaat saat ini atau masa yang akan datang bagi organisasi

Minggu, 21 September 2014

Diskursus Teori Akuntansi Positive dan Normative dalam Perspektif postmodern "Tulisan ini telah diterbitkan di Jurnal El-Huda LP2M IAI Qamarul Huda"


Artikel ini menjelaskan pandangam postmodern terhadap diskursus teori positif dan Normatif dalam mengkonstruksi teori akuntansi. Postmodern sebagai paradigma alternatif dan holistik juga diulas dalam artikel ini. Sebagai paradigma yang mengedepankan pluralitas dan anti metanaratif, postmodern cukup cocok untuk dijadikan perspektif dalam menilai sejauhmana peran teori akuntansi positif dan normative dalam menjawab permasalahan akuntansi dewasa ini. Akuntansi normative pada masanya telah mendominasi berbagai penelitian dan praktek akuntansi, ketika akuntansi normative telah usang, akuntansi positif datang untuk menggeser dominasi normative, karena akuntansi normative tidak lagi ampuh untuk menjawab permasalahan Accounting Empirical. Dominasi Akuntansi Positif yang kemudian tidak mengakomodir pendekatan sebelumnya, dipandang suatu yang metanaratif, eksklusif dan parsial oleh postmodern. Postmodern yang merupakan suatu pendekatan yang pluralistic dan anti meta naratif mengajurkan adanya suatu modifikasi dan saling melengkapi antar berbagai pendekatan dan teori yang ada, jawaban atas semua permasalahan baik normative dan empiris akan terjawab secara holistik pada artikel ini.
           
Keyword : Akuntansi normative, Akuntansi Positif, Postmodern 
Pengantar 
Kritik dengan multi paradigma atas teori akuntansi positif maupun normatif oleh banyak kalangan yang interest terhadap pengembangan ilmu akuntansi telah banyak  mewarnai diskursus pemikiran teori akuntansi. Perdebatan yang paling dominan akhir-akhir ini adalah teori akuntansi normative yang identik dengan jargon Das Sein dan Teori Akuntansi Positif (Das Solen). Dalam perkembangannya, teori akuntansi positif lahir sebagai antithesis terhadap teori akuntansi normative yang tidak mampu menjawab beberapa persoalan empirikal dan tidak dapat menghasilkan teori akuntansi yang siap dipakai didalam praktek sehari-hari (Januarti, 1997). Sebelum akuntansi positif lahir, pada tahun 1960, penelitian akuntansi banyak didominasi oleh teori akuntansi normative, sehingga dalam penyusunan standar akuntansi dan praktek akuntansi lebih bersifat normative dan preskriftif tanpa melakukan pengujian empiris terhadap metode dan teknik yang terapkan  (Godfrey, at al, 1997). Secara ontologis teori akuntansi positif mengadopsi paham realis dan sangat menentukan epistomologis dan metodologis yang digunakan. Secara metodologi, teori akuntansi positif mengikuti paradigm positivistic dan modern, artinya menggunakan metode seperti ilmu eksak, dengan demikian teori akuntansi positif bersandar pada maksimalisasi utilitas yaitu setiap individu memiliki tujuan hanya untuk memenuhi kepentingannya sendiri (Salampessy, 2007).
Teori normatif dan teori sintaktik menekankan pada penggunaan rasio dalam mencari kebenaran akuntansi. Pandangan ini dipengaruhi secara kuat oleh aliran rasionalisme. Sedangkan teori positif dan teori deskriptik berpandangan bahwa pengetahuan yang sesungguhnya hanya dapat diperloleh dengan mengamati perilaku akuntan. Pandangan ini dipengaruhi secara kuat oleh aliran empirisme. Dalam teori positif, pengetahuan yang diperoleh melalui pengamatan harus diuji lebih jauh lagi dengan menggunakan alat-alat statistic, dengan demikian Pengetahuan diperoleh dengan pengujian hipotesis (Butar-butar, 2011
Hendriksen dan Sinaga (1994) menjelaskan bahwa teori-teori normatif bersifat parsial dan dimaksudkan untuk mendukung kesimpulan mengenai prosedur-prosedur khusus saja, maka ada kebutuhan untuk mengembangkan kerangka teori akuntansi untuk mendorong pengembangan secara logis akan prinsip dan praktik akuntansi dan untuk menilai praktik-praktik yang sedang berjalan. Pergeseran pendekatan yang digunakan dalam membangun teori akuntansi, dari pendekatan normatif ke pendekatan positif berimplikasi pada dominasi teori akuntansi positif dalam setiap penelitian akuntansi pada tahun 1970-an, bahkan Fuchs dan Sandoval (2008) menunjukkan dominasi pemahaman  positivistic critic dan memberikan implikasi untuk desain kurikulum dan tindakan pedagogis. Meskipun demikian, pergeseran teori akuntansi dari yang pendekatan normative ke pendekatan positif yang terjadi tidak kemudian menjadikan teori akuntansi positif bebas nilai, sehingga riset empiris dalam teori akuntansi positif cendrung berpijak pada pendekatan normative (Riduwan, 2007). Hal tersebut senada dengan yang diungkapkan oleh Suwarjono (2012) bahwa akuntansi yang dikenal luas sekarang ini direkayasa atas dasar premis bahwa informasi ditujukan untuk investor dan kreditor yang efeknya agar investor dan kreditor mau menanamkan modalnya di perusahaan, dengan kata lain bahwa praktek akuntansi yang dasari dengan teori akuntansi positif tidak bebas nilai. Dalam pandangan postmodern Perbedaan pendekatan dalam membangun sebuah teori khususnya dalam akuntansi merupakan bagian dari dealektika dalam mencari jawaban atas permasalahan yang dihadapi secara lebih komprehensif (holistik), dan tidak lagi terjadinya dominasi atau tindakan  menguniversalkan suatu pendekatan tertentu (Haryadi, 2008) 
Pendekatan Normative dalam Teori Akuntansi \
Watts dan Zimmerman (1986) menjelaskan teori normatif sebagai berikut : teori normative berusaha menjelaskan informasi apa yang seharusnya dikomunikasikan kepada para pemakai informasi akuntansi dan bagaimana akuntansi tersebut akan disajikan. Jadi teori normative berusaha menjelaskan apa yang seharusnya dilakukan oleh akuntan dalam proses penyajian informasi keuangan kepada para pemakai dan bukan menjelaskan tentang apakah informasi keuangan itu dan mengapa hal tersebut terjadi.
Teori normative adalah apa yang seharusnya terjadi. Apakah teori normative akan mempunyai daya prediksi yang baik tergantung pada sejauhmana individu secara nyata membuat keputusan sesuai dengan teori yang digambarkan. Tidak seperti teori positif, teori normative tidak mengharuskan kriteria mempunyai kemampuan prediksi. Sesungguhnya kedua pendekatan tersebut saling melengkapi satu sama lain (Scoot, 2009)
Menurut Nelson dalam Januarti (2004), bahwasanya  teori normatif sering dinamakan teori apriori (dari sebab ke akibat dan bersifat deduktif). Teori normatif bukan dihasilkan dari penelitian empiris tetapi dihasilkan dari kegiatan semi research. Teori akuntansi normative ingin menjawab apa yang seharusnya dilakukan oleh akuntansi dalam praktek sehari-hari, jadi akuntansi normative akan menjawab pertanyaan mengenai berapa besar biaya, pendapatan, asset, utang dan modal yang harus disajikan dalam laporan keuangan (Ghozali, 2004) 
Pendekatan Positif dalam Teori Akuntansi 
Ritzer dan Goodman (2007) menjelaskan bahwa dalam perkembangannya Auguste Comte sebagai bapak positivisme, mengembangkan teori evolusinya berdasarkan tiga tingkatan, yaitu tahap teologis, tahap metafisik dan terakhir adalah tahap positivistik. Teori ini menjelaskan bahwa  dunia, kelompok masyarakat, ilmu pengetahuan, individu, dan bahkan pemikiran akan berkembang melampaui tahap teologi dan tahap metafisik dan mencapai puncak pada tahap positivistik yang ditandai dengan keyakinan terhadap ilmu sains (science). Teori ini yang kemudian mendasari pengembangan teori positif menjadi suatu teori yang dapat memecahkan permasahan dalamilmu social, termasuk akuntansi.
Berdasarkan perkembangan pendekatan yang digunakan dalam memecahkan permasalahan social  khususnya dibidang akuntansi, teori positif lahir tidak dapat dilepaskan dari ketidakpuasan terhadap teori Normative, karena dasar pemikiran yang digunakan dalam membentuk teori terlalu sederhana (Watt & Zimmerman,1986).  Terdapat tiga alasan mendasar kenapa perlu adanya perubahan pendekatan dalam membangun teori akuntansi, yaitu (Watt & Zimmerman,1986 ) : Pertama, ketidakmampuan pendekatan normatif dalam menguji teori secara empiris, karena didasarkan pada premis atau asumsi yang salah sehingga tidak dapat diuji keabsahannya secara empiris. Kedua, pendekatan normatif lebih banyak berfokus pada kemakmuran investor secara individual daripada kemakmuran masyarakat luas. Ketiga, Pendekatan normatif tidak mendorong atau memungkinkan terjadinya alokasi sumber daya ekonomi secara optimal di pasar modal. Hal ini mengingat bahwa dalam sistem perekonomian yang mendasarkan pada mekanisme pasar, informasi akuntansi dapat menjadi alat pengendali bagi masyarakat dalam mengalokasi sumber daya ekonomi secara efisien. 
Teori akuntansi positif  berusaha untuk membuat prediksi yang baik sesuai dengan kejadian yang nyata. Sebagiman Scott (2009 : 284) mengungkapkan  dalam bukunya : 
Teori akuntansi positif adalah berhubungan dengan prediksi yaitu suatu tindakan pemilihan kebijakan akuntansi oleh manajer perusahaan dan bagaimana manajer perusahaan akan merespon untuk mengajukan standar akuntansi yang baru. 
Lebih lanjut Godfrey et.al (1997) dalam Januarti (2004) menyatakan bahwa teori akuntansi positif berusaha menjawab antara lain pertanyaan berikut dari sudut pandang ekonomi. :
Pertama, Apakah biaya yang dikeluarkan sebanding dengan manfaat yang diperoleh dalam pemilihan metode akuntansi alternatif. Kedua, Apakah biaya yang diperoleh sebanding dengan manfaat yang diperoleh dalam regulasi dan proses penentuan standar akuntans. Ketiga, Apa dampak laporan keuangan yang dipublikasikan pada harga saham 
Untuk lebih memahami Teori akuntas positif, berikut formula dari Watts  dan Zimmerman (1986) dalam Scott (2009 : 287) terdapat 3 hipotes yang terkandung di dalamnya, yaitu: 
Pertama, Hipotesis bonus plan, yakni apabila manajer perusahan ingin mendapatkan bonus berdasarkan laba akuntansi, maka manajer perusahaan akan memilih kebijakan akuntansi yang akan memenuhi kepentingannya, yaitu dengan menggeser laporan laba periode mendatang ke periode sekarang. Kedua, Debt Covenant Hypothesis, yakni perusahaan cenderung untuk menurunkan rasio utang/ekuitas dengan cara meningkatkan laba periode sekarang dengan menggeser dari laba-laba periode mendatang. Motivasi perusahaan melakukan ini adalah untuk menghindari kedekatan terhadap debt covenant dan untuk mendapatkan suku bunga pinjaman yang lebih rendah, karena semakin rendah rasio/ekuitas semakin rendah risiko kebangkrutan perusahaan. Ketiga, Political Cost Hipothesis, yaitu perusahaan cenderung memperkecil tingkat laba sekarang dengan menggeser laba sekarang ke laba periode mendatang tujuan menghindari tekanan politik seperti tuduhan monopoli dengan menunjukkan laba perusahaan tidak berlebihan seperti yang dicurigai, melobi ke konggres untuk melindungi industri dari barang impor yang menyebabkan keuntungan industri merosot, menghindari tuntutan serikat kerja dengan menunjukkan bahwa laba perusahaan menurun dan lain sebagainya. Perusahaan dapat menurunkan laba dengan merubah metode atau prosedur akuntansi Dalam bukunya, (Scott, 2009 : 290) mengungkapkan bahwa Banyak penelitian yang telah membuktikan ketiga hipotesis yang dikemukakan oleh Watt & Zimmerman, antara lain : Pertama, Healy (1985) dengan hipotesis perencanaan bonus, yang menghasilkan bukti para manajer yang mendasarkan bonusnya pada income netto dilaporkan secara sistematis menggunakan kebijakan akuntansi accrual untuk pelaporan pendapatannya sehingga dapat memaksimalkan bonus. Kedua, Sweeney (1994) dengan hipotesis perjanjian hutang, dihasilkan bukti bahwa perusahaan sering melanggar perjanjian hutang dalam bentuk pemeliharaan modal kerja dan ekuitas pemegang saham. Ketiga, Jones (1991) mengkaji perubahan perusahaan untuk menurunkan income netto yang dilaporkan untuk keringanan impor. Pemberian keringan impor pada perusahaan tidak adil karena dipengaruhi oleh kompetisi asing, sebagian merupakan keputusan politik. Keempat, Lev (1979) dalam hipotesis bonus — debt convenant adanya kecenderungan manajer menjadi opportunistik dengan menyelamatkan bonus dan mengabaikan perubahan debt convenant ketika effisiensi pasar yang diharapkan bereaksi negative 
Selanjutnya Scott (2009) menjelaska bahwa tiga hipotesis yang dinyatakan diatas adalah suatu bentuk oportunistik, mereka mengasumsikan bahwa manajer memilih kebijakan akuntansi untuk memaksimalkan harapan mereka. Hipotesis ini juga dinyatakan sebagai suatu bentuk efisiensi, yang mengasumsikan bahwa sistem pengendalian internal termasuk monitoring direktur utama, keterbatasan kesempatan, dan motivasi manajer untuk memilih kebijakan akuntansi yang meminimalkan biaya kontrak. Konsekuensinya, sulit untuk memberitahu apakah perusahaan dalam memilih kebijakan akuntansinya mempertimbangkan oportunistik atau efisiensi.
Tiga hipotesis tersebut menunjukkan bahwa akuntansi teori positif mengakui adanya 3 hubungan keagenan (1) antara manajemen dengan pemilik, (2) antara manajemen dengan kreditur, (3) antara manajemen dengan pemerintah  (charirii dan Imam, 2003 dalam Januarti 2004). Masalah agency muncul disebabkan karena adanya asimetri informasi antara agent dan principal, dimana agent lebih banyak mempunyai informasi dibandingkan principal. sehingga menyebabkan adanya moral hazard (Belkaoui, 2000). Permasalahan tersebut, penulis akan mengulas dengan pendekatan postmodern pada uraian berikutnya.
Sebagai teori yang hadir setelah teori normatif, teori akuntansi positif tidak luput dari beberap kritik atas pendekatan yang digunakannya. Berikut beberapa peneliti yang melakukan kritik dan dikelompokkan menjadi 3 kelompok  (Januarti, 2004) yaitu : (1) kritik terhadap filosofi, positif menganut bahwa peneliti berada di luar area penelitian serta memakasimalkan utilitynya. Hal ini tidak mungkin terjadi karena peneliti selalu berada pada area yang ditelitinya dan maksimalitas utility tidak mungkin dicapai hanya sebatas pada kepuasan (Simons dalam Januarti, 2004).  (2) kritik terhadap metodologi, teori positif menganut pendekatan bahwa maksimalisasi keuntungan dapat diperoleh melalui harga keseimbangan pasar. Hal ini tidak mungkin karena penelitian dengan harga keseimbangan pasar sangat sedikit pengaruhnya terhadap kontribusi penelitian akuntansi. (3) kritik terhadap penelitian dengan pendekatan ekonomi, yaitu pemaksimalisasi individu yang tidak mungkin atau tidak mudah untuk menghitungnya.
Kritik di atas, membuktikan bahwa terdapat kelemahan yang kemudian memungkinkan teori baru hadir dengan berbagai macam pendekatan yang digunakan. 
Postmodern sebagai Pendekatan Alternatif dalam Akuntansi 
Postmodernisme adalah faham yang berkembang setelah era modern dengan modernismenya. Postmodernisme bukanlah faham tunggal sebuah teori, namun justru menghargai teori-teori yang bertebaran dan sulit dicari titik temu yang tunggal. (Sugiharto,1996) 
Postmodernisme tidak selalu menggantikan modernisme seluruhnya. Sebaliknya, itu merupakan modifikasi modernisme (Koornhof & De Villiers De, 1999). Menurut Lyotard dalam buku Bertens (2001 : 351), bahwa Postmodern tidak dapat dimengerti sebagai permulaan baru, sebagai mulainya periode berikutnya. Posmodernitas mengungkapakan beberapa perkembangan dan transformasi tertentu yang berlangsung dalam rangka modernitas itu, dengan demikian Postmodern tidak menunjuk kepada suatu keadaan, melainkan kepada suatu tugas, kepada apa yag harus dikerjakan sekarang. 
Adapun dasar pemikiran postmodernisme adalah :
Pertama, Postmodernisme tidak mencari kebenaran yang bersifat mutlak dan universal, melainkan kebenaran yang pluralistik atau beraneka ragam dan relatif secara radikal (Cooper 1996). Artinya bahwa kaum postmodernis percaya bahwa tidak ada sebuah kebenaran yang bersifat mutlak. Demikian dalam ilmu akuntansi yang termasuk ke dalam ilmu sosial yang dinamis yang selalu menghadirkan banyak perspektif dan tanggapan, sehingga tidak akan ada suatu kebenaran utuh mengenai suatu fenomena. Jackson & Sorensen (1999) bahkan menyebutkan bahwa ilmu sosial tidak netral, melainkan, ilmu sosial adalah historis, budaya, politis, dan karena itu bias. Hal tersebut dapat dilihat bahwa setiap teori memutuskan untuk dirinya sendiri apa yang dianggap sebagai “fakta”, sehingga tidak ada titik acuan yang netral, utuh, atau bebas untuk memutuskan di antara pernyataan empiris yang bertentangan, sehingga kaum postmodernis beranggapan bahwa teori empiris adalah mitos (Jackson & Sorensen 1999, 304). 
Kedua,  Postmodernis percaya bahwa pengetahuan dan power sangat berkaitan, sehingga pengetahuan sama sekali tidak kebal dari bekerjanya power atau kekuasaan (Foucault dalam Smith 1997, 181). Hal ini dapat dilihat dari salah satu metode yang digunakan oleh kaum postmodernis, yaitu metode geneologis yang lebih menyoroti singularitas dalam peristiwa-peristiwa untuk menyingkap pemikiran bahwa seluruh sejarah ditulis oleh mereka yang memiliki power (Smith 1997, 181). Hal tersebut menunjukan bahwa kebenaran suatu sejarah adalah relatif bukan absolut karena hal tersebut berdasarkan sudut pandang penulis sejarah tersebut.
Ketiga,Posmodernism identik dengan dekonstruktivisme, yaitu mereka tidak mempercayai suatu hal yang berkaitan dengan metanaratif, dimana metanaratif adalah pemikiran seperti neorealisme atau neoliberalisme yang menyatakan telah menemukan kebenaran tentang dunia sosial (Jackson & Sorensen 1999, 303). 
Atas dasar pemikiran di atas, tidak berlebihan kalau penulis menjastifikasi bahwa Postmodern merupakan cara pandang yng lebih holistik dan menyeluruh dengan tanpa menapikan beberap pandangan yang lain, seperti yang diungkapkan oleh Triyuwono (2006) bahwa paradigma posmodernis bisa dikatakan telah mampu memahami realitas sosial, hakikat manusia dan ilmu pengetahuan dan metodologi secara sangat inklusif (terbuka), holistik, transedental, teleologikal dan humanis. Sehingga pada gilirannya dampak yang diciptakannya adalah manusia dapat dengan bebas berkreasi menciptakan instrumen pengetahuan dalam upayanya mengkonstruksi ilmu pengetahuan tersebut. Manusia dapat membuat rancang bangun instrumen pengetahuan dengan lebih bebas, fleksibel, dan bervariasi tergantung pada pengetahuan apa yang sedang dibangunnya.
Postmodern juga merupakan paradigma yang ini tidak berupaya menguniversalkan gagasan atau pengetahuan menjadi ralitas sosial yang seragam, namun yang lebih arif adalah mengangkat dan menghargai nilai-nilai lokal yang ada dalam masyarakat dan disinergikan menjadi sebuah kekuatan yang utuh dan terpadu dalam mengkonstruksi sebuah pengetahuan atau realitas. Peng-universal-an dalam paradigma ini hanyalah akan membawa malapetaka bagi nilai-nilai lokal dan masyarakatnya. Demikian dengaan tujuan Postmodern sangat menghargai dan menjunjung tingg nilai-nilai kemanusiaan, dimana hakekat manusia merupakan satu kesatuan dengan lingkungannya, tidak lagi manusia menjadi objek tapi menjadi subyek dalam perubahan  (Haryadi, 2008) 
Pandangan Posmodern terhadap Diskurus Teori Akuntansi Normatif dan Positif
 Berdasarkan pengantar di atas, bahwasanya Postmodernisme tidak selalu menggantikan modernisme seluruhnya. Sebaliknya, itu merupakan modifikasi modernisme (Koornhof & De Villiers De, 1999)  dan  Lyotard dalam buku Bertens (2001 : 351). Artinya bahwa bangunan teori normative yang kemudian digantikan oleh teori positif merupakan sebuah langkah untuk melengkapi apa yang menjadi kelemahan teori normative adalah hal yang menjadi anjuran postmodern. 
Postmodernis yang memandang bahwa ilmu-ilmu pengetahuan (empiris khususnya) bukanlah merupakan satu-satunya standar kebenaran tertinggi dan Postmodernisme tidak mencari kebenaran yang bersifat mutlak dan universal, melainkan kebenaran yang pluralistik atau beraneka ragam dan relatif secara radikal (Cooper 1996). Hal tersebut telah menimbulkan konsekuensi yang yang signifikan dimana nilai-nilai moral-religius lebih dijunjung tinggi dan berwibawa dalam pandangan manusia itu sendiri. Hasilnya adalah timbulnya orientasi moral-religius yang tinggi dan berkualitas dan pada gilirannya membawa peningkatan nilai-nilai kesantunan, kebersamaan, kearifan, mentalitas dan sebagainya (Haryadi, 2008). Dengan berpandangan seperti itu maka ini berarti bahwa alternative solusi bisa digali dari berbagai macam pemikiran, pendekatan dan paradigma dalam mencari jawaban atas permasalahan baik yang bersifat normative maupun empiris. media dan sifat dari kebenaran itu sendiri tidaklah mutlak adanya. 
Posmodernism identik dengan dekonstruktivisme, yaitu mereka tidak mempercayai suatu hal yang berkaitan dengan metanaratif (Pengkultusan atas satu pendekatan dengan meniadakan pendekatan yang lain), dimana metanaratif adalah pemikiran seperti neorealisme atau neoliberalisme yang menyatakan telah menemukan kebenaran tentang dunia sosial (Jackson & Sorensen 1999, 303). Atas pemikiran terkait postmodern tersebut, bahwasanya Perdebatan apakah  Teori normative dan positif sebagai pendekatan yang paling unggul, bagi postmodern adalah suatu hal yang naif dan menjadi parsial (tidak holistik) dalam memecahkan permasalahan, sebab teori Normatif memiliki permasalahan sendiri yaitu tidak  memiliki daya prediktif yang kuat dan tidak mampu menjawab permasalahan empiris. Demikian juga dengan Teori positif dihadapkan dengan persoalan normative, yaitu otonomi yang berlebihan dengan berstandar pada maksimalisasi utilitas yaitu setiap individu memiliki tujuan hanya untuk memenuhi kepentingannya sendiri (Salampessy, 2007) sebagai misal, dalam teori akuntansi positif diberikan dalam memilih kebijakan dan metode dalam praktek akuntansi, sehingga menurut Scott (2009), suatu tindakan pemilihan kebijakan akuntansi oleh manajer perusahaan akan berimplikasi pada tindakan oportunistik sesuai dengan apa yang diformulasikan oleh  Watts  dan Zimmerman dalam setiap hipotesis Teori akuntansi positif.  Teori akuntansi yang dibangun dengan pendekatan positif memberikan implikasi terhadap praktek akuntansi baik ”positif” maupun ”buruk”, demikian juga dengan teori akuntansi normatif. Sebagai Alternatif dalam perbedaan pendekatan yang digunakan dalam membangun teori adalah Postmodern.

Simpulan 
Diskursus Teori akuntansi dengan pendekatan normatif dan positif menambah khazanah pengetahuan tentang teori akuntansi dengan multi paradigma. Perdebatan antara normative dan positif sebagai pendekatan dalam membangun teori akuntansi merupakan salah satu dinamika yang memberikan pengaruh yang besar dalam perkembangan Teori Akuntansi.
Teori akuntansi positif berusaha untuk memahami dan memprediksi pilihan kebijakan akuntansi perusahaan. Sedangkan Teori Akuntansi normatif menjelaskan kebijakan apa yang diterapkan tanpa adanya pembuktian empirik apakah memberikan manfaat ataukah tidak. 
Postmodern sebagai suatu paradigm tidak selalu menggantikan modernisme seluruhnya. Sebaliknya, itu merupakan modifikasi modernisme. Artinya bahwa bangunan teori normative yang kemudian digantikan oleh teori positif merupakan sebuah langkah untuk melengkapi apa yang menjadi kelemahan teori normative adalah hal yang menjadi anjuran postmodern. 
Postmodernis yang memandang bahwa ilmu-ilmu pengetahuan (empiris khususnya) bukanlah merupakan satu-satunya standar kebenaran tertinggi dan Postmodernisme tidak mencari kebenaran yang bersifat mutlak dan universal, melainkan kebenaran yang pluralistik atau beraneka ragam dan relative.
Dengan demikian, Postmodern sebagai suatu perspektif sekaligus paradigm dalam memandang pertentangan anatar noramatif dan  positif dapat terselesaikan, bilamana kita mengedepankan azas puralistik dalam menggunakan setiap pendekatan. Ketika pendekatan yang digunakan dalam memecahkan permasalahan akuntansi, baik normative, positif maupun pendekatan lainnya memiliki relevansi dalam menjawab pesoalan, maka kita dapat menggunakannya tanpa harus mengunggulkan satu teori dibandingkan teori yang lain. Sebab paradigm postmodern sangatlah anti akan metanaratif dan mengedapankan penggunaan  berbagai macam pendekatan agar persoalan terjawab secara komprrehensif.

DAFTAR PUSTAKA



Belkaoui, Riahi, Ahmad. (2000).  Accounting Theory. Ed. Fourth, Thomson Learning.

Bertens, K. (2001) Filsafat Barat Kontemporer. PT Gramedia  Utama. Jakarta

Butar-butar, Sansaloni. (2011). Memahami akuntansi dari Perspektif Historis. Dinamika Sosial Ekonomi. Volume 7 Nomor 2 Edisi November 2011
Cooper, R. (1996). The Post-Modern State and The World Order. London : Demos.

Fuchs, Christian & Sandoval. (2008). Positivism, Postmodernism, or Critical Theory? A Case Study of Communications Students' Understandings of Criticism. Journal for Critical Education Policy Studies Volume 6, Number 2. ISSN 1740-2743

Godfrey J., Allan H, Scott H.(1997). Accounting Theory. Jacaranda Wiley LTD
Haryadi, Bambang. (2008). Posmodrnisme : Sebuah Keutuhan Dari Paradigma. Jurnal Akuntansi, Manajemen Bisnis dan Sektor Publik : Volume 4 No. 2
Hendriksen, E. S., & M, Sinaga. (1994). Teori Akuntansi. Edisi Keempat. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Jackson, Robert & Sorensen, Georg. 1999. Introduction to International Relations. New York : Oxford University Press.
Januarti, Indira. (2004). Pendekatan dan Kritik Teori Akuntansi Positif. Jurnal Akuntansi Auditing : Volume 01/ No. 01. Universitas Diponogoro, Semarang
Koornhof & Villiers De. (1999). Postmodernism and accounting: Mirror or myth?. Meditari Accountancy Research Vol. 71999: Review, Vol. 65
Ritzer, George., & D, J. Goodman. (2007). Teori Sosiologi Modern. Terjemahan. Edisi Keenam. Jakarta: Penerbit Kencana
Salampessy, Zulkarim. 2010. Kritik Terhadap Teori Akuntansi Positif. Jurnal El-Muhasaba. Vol 1, No. 2.07. Universitas Brawijaya Malang
Scott, William R. (2009) Financial Accounting Theory. Pearson Canada Inc. Toranto, Ontario.
Smith, S. (1997). New Approaches to International Theory, in J. Baylis and S. Smith (eds), The Globalization of World Politics. Oxford: Oxford University Press
Sugiharto, Bambang I. (1996) Postmodernisme, Tantangan Bagi Filsafat. Kanisius. Yogyakarta.
Suwardjono, (2012). Teori Akuntansi : Perekayasaan Laporan Keuangan. BPFE Yogyakarta.
Triyuwono, Iwan. 2006. Akuntansi Syariah: Menuju Puncak Kesadaran Ketuhanan Manunggaling Kawulo Gusti. Pidato Pengukuhan Guru Besar. Unibraw. 
Watts and Zimmerman, 1986, Positive Accounting Theory, Prentice Hall

0 komentar:

Posting Komentar