RENUNGAN

Tujuan Hidup Sesungguhnya adalah mengabdi kepada-NYA

RUBRIK PENGETAHUAN

Biaya adalah kas atau nilai ekuivalen kas yang dikorbankan untuk mendapatkan barang atau jasa yang diharapkan memberi manfaat saat ini atau masa yang akan datang bagi organisasi

Sabtu, 13 September 2014

“SECERCAH HARAPAN UNTUK INDONESIA YANG LEBIH BERSIH” (Tulisan ini telah diterbitkan oleh harian lombok post kolom opini tanggal 8 september 2014)

Data Corruption Perceptions Index yang dirilis oleh situs Transparency Internasional 2013, bahwa Indonesia masuk ranking ke-114 dari 177 negara yang "bebas korupsi" di dunia atau Indonesia menduduki peringkat 64 negara paling korup di dunia dan Indonesia masuk dalam kategori Negara dengan skor dibawah 50  “high corrupt” yaitu dengan nilai skor 32 dari skala 0 (sangat korup) sampai 100 (sangat bersih). Ini membuktikan bahwa Indonesia masih diramaikan oleh para pelaku korupsi. Gurita korupsi di Indonesia menjadikan negeri ini telah kehilangan wibawa. Korupsi sebagai ekstraordinary crime atau kejahatan luar biasa tidak lagi menjadi hal yang tabu untuk dilakukan, meskipun komisi pemberantasan korupsi terus berjuang untuk menindak pelaku korupsi di Indonesia, namun masih tetap saja prilaku korupsi menjadi tradisi bahkan seolah-olah didesain menjadi prior program yang massif dan sistematis.
Konsekwensi dari Negara korup adalah Negara itu akan menjadi Negara miskin, karena tingginya tingkat korupsi memiliki korelasi positif dengan tingkat kemiskinan dan pengangguran. Makin banyak orang yang melakukan tindakan korupsi di suatu negara, tentu berkontribusi terhadap tingginya angka kemiskinan dan pengangguran di Negera itu, karena ketika uang Negara terlalu banyak yang bocor, maka uang untuk mengurangi angka kemiskinan tidak akan pernah tercapai. Benar apa yang dikatakan oleh Ketua KPK Abraham Samad yang dirilis oleh detiknews.com, bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa (ekstraordinary crime)
Secara terminology korupsi merupakan tindakan fraud/ kecurangan. Mengutip hasil analisa Donald Ray Cressey, bahwa fraud/ kecurangan  terjadi ketika seorang yang mendapatkan kepercayaan dari orang lain, lalu kepercayaan itu disalahgunakan, atau diistilahkan oleh Cressy sebagai trust violator atau penyalah guna kepercayaan.  Di berbagai negara tentu telah terjadi perilaku curang atau trust violator itu, baik di sektor pemerintahan maupun  perusahaan, termasuk di Indonesia.  Di pemerintahan misalkan, ada uang rakyat yang dipercayakan kepada penyelenggara Negara, kemudian diperusahaan ada dana investor yang dipercayakan kepada manajer, maka dana itu akan berpotensi disalahgunakan oleh pejabat korup. Lebih lanjut  Cressy  mengkalisifikasikan motivasi sesorang untuk menyalahgunakan kepercayaan itu menjadi tiga atau disebut dengan fraud Triangle yaitu pressure (tekanan), Opportunity (kesempatan) dan Rationalization (pembenaran).  “Tekanan” bisa saja datangnya dari diri masing-masing pelaku untuk sebuah ambisi kekusaan dan kekayaan, dan bisa dari luar dirinya seperti tekanan dari atasannya. “Kesempatan” itu timbul dari internal control yang buruk dalam suatu organsisasi. “Pembenaran” biasanya dilakukan sebagai pembenaran atas kecurangan yang dilakukannya, misalkan korupsi dilakukannya karena kurangnya pendapatan yang diperoleh  dari intansinya. Fraud Triangle ini terjadi juga di Indonesia, oknum penyelenggara pemerintahan telah mempertontonkan tindakan  ekstraordinary crime tersebut dari hulu ke hilir, dari level yang paling atas ke level yang paling bawah,dari pemerintahan pusat hingga daerah. Memberantas korupsi tentu tidak cukup dengan hanya menindak para pelakunya saja, tetapi lebih dari itu, yaitu melakukan tindakan preventif dengan membangun sistem pengawasan yang lebih ketat, dan yang paling penting sesungguhnya adalah pemimpin Negara harus memberikan tauladan deangan bertindak jujur dalam pengelolaan kekayaan Negara.
Menurut penulis, Fraud Triangle dalam perspektif pelaku korupsi, bisa saja berasal dari penyelenggara pemerintah, partai politik dan pengusaha. Penyelenggara pemerintah yang memiliki latar belakang politisi sangat rentan melakukan tindakan korupsi, karena beberapa faktor, antara lain adanya tekanan dari partai politik untuk manjadikan jabatan startegisnya sebagai mesin uang (ATM) yang dengan leluasa menyahgunakan wewenang untuk memperkaya diri dan partai politiknya. Sebagai contoh, bekangan ini sedang marak terjadinya tindakan korupsi yang dilakukan oleh oknum penyelenggara pemerintah seperti mantan menteri pemuda dan olahraga, mantan menteri agama, menteri ESDM  yang baru saja mengundurkan diri setalah divonis sebagai tersangka oleh KPK karena terlibat kasus korupsi di kementriannya masing-masing. Tentu perbuatan mereka telah merugikan Negara dan rakyat, bahkan berpotensi memiskinkan negara. Hal ini mengindikasikan bahwa menteri dari kalangan politisi akan sangat rawan terjadinya tindakan korupsi. Kasus tersebut merupakan bagian dari sederatan kasus korupsi yang dilakukan oleh oknum pejabat Negara yang berlatar belakang politisi atau pengurus partai politik aktif dan merangkap sebagai pejabat Negara.
Motivasi fraud dari kalangan oknum pejabat Negara, bisa saja timbul dari tekanan internal diri pelaku untuk memperkaya diri atau tekanan dari luar seperti  pengusaha yang notabenenya sebagai penyumbang dan partai politik sebagai kendaraan politiknya, sehingga tidak menutup kemungkinan praktek korupsi/fraud kerap terjadi demi memenuhi kepentingan partai dan pengusaha.  Modus klasik, misalkan ketika oknum penyelenggara pemerintah merumuskan kebijakan terkait pelaksanaan proyek yang nilainya hingga triliyunan rupiah, maka yang paling diprioritaskan sebagai pemenang tender adalah  pengusaha yang  memiliki andil besar atas kepentingan parpol dan kader parpol yang duduk sebagai pejabat Negara.  Parpol, penyelenggara pemerintah dan pengusaha adalah pihak yang berpotensi  menjadi pelaku korupsi atau fraud triangle apabila mereka tidak memiliki integritas moral tinggi. Dan yang paling berbahaya adalah ketika baju idialisme sudah mulai ditanggalkan dan amanah rakyat mulai diabaikan.
Pemerintahan SBY perlu diberikan apresiasi atas komitmen dan keberhasilannya dalam mengawali pemberantasan korupsi di Indoensia, mulai dari pejabat-pejabat kementrian dan anggota legislatif hingga pimpinan pemerintah daerah. Khususnya untuk KPK perlu mendapatkan penghargaan yang tinggi atas kerja kerasnya mengungkap kejahatan korupsi, meskipun masih banyak kasus-kasus korupsi yang masih belum diungkap. Kita optimis bahwa bau “bangkai” korupsi yang tertutup rapat pasti akan tercium juga, tinggal menunggu waktu saja. Pelaku korupsi, baik dari kalangan politisi, pejabat pemerintah dan pengusaha secara bergiliran terus ditindak, namun apakah “kandidat” pelaku korupsi yang lain akan merasa takut setelah melihat sesama koruptornya ditindak, tentu jabawananya belum tentu, kalau sanksi hukum bagi koruptor masih relatif ringan. Siapapun yang melakukan korupsi lebih besar 20 x lipat dari hukuman yang diterimanya, maka pelaku korupsi tidak akan pernah jera.  Aturan mengenai sanksi bagi pelaku korupsi, yaitu memiskinkan koruptor dan keluarganya adalah hal yang positif, sehingga tindakan korupsi di Negeri ini akan menjadi hal yang menakutkan dan menjijikkan.
Hemat saya, pekerjaan rumah yang tidak begitu berat bagi pemerintahan jokowi-JK untuk membersihkan mafia dan jaringan koruptor baik dilingkungan kementrian maupun lembaga penegakan hukum, apabila ada komitmen dan keberanian. Bila perlu Presiden terpilih Joko Widodo harus berani menyiapkan sejumlah peti mati bagi penyelenggara pemerintah yang terbukti melakukan tindakan korupsi. Demikian juga dengan internal control system dalam penentuan dan  pengelolaan anggaran rakyat harus ditata kembali agar menjadi lebih baik sehingga tidak ada celah bagi aparatur pemerintah untuk korupsi.  Lembaga yang menangani tindakan korupsi senantiasa diberikan perhatian khusus, terkait jumlah sumber daya manusia yang akan menangani ribuan kasus yang masih belum terselesaikan, dan perlu adanya lembaga KPK perwakilan di setiap daerah yang khusus menangani kasus korupsi di daerah, sehingga sekian banyak kasus di daerah dapat tertangani dengan optimal. Dengan demikian, lembaga KPK yang ada di pusat memiliki konsentrasi penuh menangani kasus korupsi yang lebih besar di pusat. 
Perlu mengoptimalkan kerja PPATK untuk menjadi alat kontrol terhadap transaksi keuangan pejebat Negara yang  mencurigakan melalui kerjasama dengan pihak perbankan, bila perlu PPATK membuat regulasi agar setiap pejabat Negara dan anggota legislatif secara rutin melaporkan harta kekayaannya. Sebagai akhir dari tulisan ini, kami memiliki secercah harap kepada pemerintahan Jokowi-JK agar menjalankan pemerintahannya dengan bersih dan berharap korupsi dapat segera tercerabut dari Negeri ini.

0 komentar:

Posting Komentar