Ada sebuah anomali yang terjadi pada penyelenggaran
pendidikan tinggi di Negeri ini. Makin banyak
sarjana yang dilahirkan oleh perguruan tinggi, makin banyak pula jumlah
koruptor, terbukti dengan pelaku tindakan korupsi yang telah dijadikan
tersangka oleh KPK, baik dari kalangan pejabat negara, politisi dan pengusaha
adalah orang pintar dan lulusan dari beberapa perguruan tinggi, sebagimana
dikatakan oleh Mantan ketua MK Mahfud MD yang dirilis oleh situs kampus.okezone.com tahun 2012 yang lalu, bahwa “Sembilan
puluh lima persen koruptor itu lulusan perguruan tinggi, Ini terjadi karena
dunia pendidikan di Indonesia sekarang mengalami disorientasi”. Oleh karena itu, tidak berlebihan
kalau penulis mengatakan bahwa perguruan tinggi juga bertanggung jawab atas anomali
itu. Konsekwensinya, perguruan tinggi dituntut berperan aktif melakukan
pencegahan terhadap menjamurnya jumlah koruptor di negeri ini.
Pendidikan karakter yang belakangan ini
diterapkan baik oleh perguruan tinggi maupun sekolah menengah masih belum dapat
membuka wawasan peserta didik tentang korupsi dalam arti yang sesungguhnya.
Korupsi dan dampak massifnya belum dipahami secara komprehensif oleh peserta
didik kita dan masyarakat pada umumnya, maka jangan heran ketika seseorang
dijadikan sebagai tersangka akibat tindakan pemberian hadiah kepada pejabat
Negara, ternyata tidak dianggap sebagai korupsi oleh yang bersangkutan, padahal
perbuatannya merupakan tindakan korupsi dengan jenis gratifikasi, sebagaimana
diatur dalam UU Pemberantasan tindak pidana korupsi No 31 tahun 1999 jo. UU No 20 tahun 2001 pasal 12B ayat (1 ) dalam penjelasannya yang menyatakan bahwa “Gratifikasi adalah pemberian dalam arti
luas, meliputi pemberian uang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga,
tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma
dan fasilitas lainnya”. Modus gratifikasi ini paling sering terjadi di negeri
ini dengan alasan untuk membina hubungan silaturrahim dengan para pejabat,
sehingga ketika ada kepentingan yang ada sangkut pautnya dengan wewenang
pejabat tersebut, maka kepentingannya akan segera terpenuhi, meskipun tidak
melalui prosedur yang legal. Modus yang demikian dapat terjadi karena
pengetahuan masyarakat dan pejabat kita masih rendah dalam memaknai korupsi
dalam artian yang lebih luas, begitu juga dengan mental dan karakter sebagian
pejabat dan masyarakat kita masih tergolong rapuh, serta kultur birokrasi kita
masih memungkinkan terjadinya tindakan korupsi. Dengan demikian, pendidikan anti korupsi dengan menekankan pada
domain konitif, afektif dan dan psikomotorik, sangatlah penting untuk
diterapkan sebagai ikhtiar pemberantasan korupsi di Indonesaia
Pemberantasan korupsi dapat dilakukan dengan “menindak”
pelaku korupsi dan ”mencegah” agar tidak terjadinya praktek kecurangan/korupsi.
Penindakan terhadap pelaku korupsi adalah tugas penegak hukum, dan itu telah dilakukan
oleh KPK, kejaksaan dan kepolisian, sedangkan yang menjadi ranah perguruan
tinggi adalah melakukan pencegahan terhadap praktek korupsi melalui pendidikan
anti korupsi. Tindakan pencegahan inilah
yang masih belum optimal dilakukan oleh lembaga pendidikan tinggi, sehingga
banyak perguruan tinggi hanya melahirkan sarjana yang pintar tapi kurang
berintegritas. Komitmen perguruan tinggi untuk mengambil peran dalam pencegahan
korupsi adalah hal yang niscaya, sebab kalau itu tidak dilakukan, maka upaya
mengurangi jumlah jumlah koruptor tidak dapat berhasil secara signifikan,
meskipun penindakan korupsi yang dilakukan oleh penegak hukum terus dilakukan.
Tanpa dipungkiri bahwa ada anomali dalam
pemberantasan korupsi di Indonesia, makin banyak pelaku korupsi yang ditindak, makin
banyak pula para koruptor yang bermunculan, seperti kata pepatah “hilang satu
tumbuh seribu”. Anomali ini terjadi, diduga karena dua hal, pertama karena
hukuman yang diberikan kepada koruptor masih belum maksimal/masih “setengah
hati”, sehingga tidak memberikan efek jera, dan kedua belum ada komitmen
bersama untuk memerangi korupsi melalui tindakan pencegahan (preventif). Oleh
karena itu, pencegahan terhadap tindakan korupsi harus dijadikan sebagai bagian
yang tidak dipisahkan dari upaya pemberantasan korupsi. Pendidikan anti korupsi
harus dijadikan sebagai agenda nasional dan wajib diterapkan di sekolah dan
perguruan tinggi, apabila kita semua menginginkan tercerabutnya akar korupsi di
Indonesia. Korupsi adalah kejahatan yang luar biasa (ekstra ordinary crime),
maka kejahatan yang luar biasa harus diatasi dengan cara dan strategi yang luar
biasa. Keseriusan setiap komponen masyarakat dan pemerintah, khususnya
perguruan tinggi dalam menghadang gerakan massif “virus” korupsi sangat
diperlukan. Menjalarnya “virus” korupsi dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat
kita, telah memberikan efek yang luar biasa terhadap rapuhnya karakter bangsa.
Karakter bangsa yang rapuh tentu akan menyebabkan bangsa ini tidak memiliki
kekuatan lagi untuk menjadi bangsa yang maju, berwibawa dan bermartabat. Hal
inilah yang perlu diwaspadai, jangan sampai “virus” korupsi ini akan
melumpuhkan bangsa ini secara perlahan-lahan.
Upaya
pemberantasan korupsi telah dilakukan sejak lama oleh pemerintah, baik dengan
cara membuat berbagai regulasi perundang-undangan, maupun dengan mendirikan
berbagai institusi pemberantasan korupsi, namun masih saja belum menunjukkan
tanda-tanda bahwa korupsi kian berkurang. Regulasi dan lembaga formal
pemberantasan korupsi saja tidak cukup untuk mengurangi praktek korupsi di
Negeri ini, perlu adanya komitmen bersama dari setiap komponen bangsa untuk
melakukan pencegahan terjadinya korupsi. Terlebih perguruan tinggi, senantiasa melakukan
gerakan anti korupsi dalam bentuk “pendidikan anti korupsi” dan menjadikan
gerakan ini sebagai program prioritas dalam pelaksanan tri dharma perguruan
tinggi.
Menurut
penulis, pendidikan anti korupsi adalah wujud kongkrit gerakan anti korupsi
yang dapat dilakukan oleh perguruan tinggi. Gerakan ini tidak hanya untuk memberikan
pemahaman yang utuh kepada mahasiswa dan civitas akademika terkait korupsi dan
cara pencegahannya, tetapi lebih dari itu, yaitu menginternalisasikan
nilai-nilai dan prinsip anti korupsi pada diri civitas akademika, dan
mengeksternalisasikannya dalam kehidupan kampus sehingga kultur perguruan
tinggi yang berkarakter dan berintegritas dapat terwujud. Pendidikan anti
korupsi dapat dilakukan melalui berbagai bentuk, antara lain : Pertama,
merumuskan kembali visi dan misi perguruan tinggi yang lebih mengarah pada
pembentukan karakter mahasiswa sebagai komitmen civitas kademika dan
stakeholder dalam upaya pemberantasan korupsi. Kedua, Mamasukkan matakuliah
pendidikan anti korupsi pada kurikulum perguruan tinggi. Ketiga, bersama-sama
dengan mahasiswa, staf dan dosen melakukan kampanye anti korupsi secara
intensif dan berkelanjutan di lingkungan kampus dalam bentuk aksi, seminar,
training dan diskusi informal. Keempat, menjalin koordinasi dengan lembaga
mahasiswa baik eksternal maupun internal kampus, agar program kegiatannya
berorientasikan anti korupsi. Kelima, mengintensifkan peran pengampu mata
kuliah agama dalam melakukan mentor dan dakwahnya bertemakan anti korupsi.
Keenam, melakukan pembiasaan untuk tidak melakukan tindakan “mencontek” dan
“plagiarism” bagi mahasiswa dan dosen.
Berbagai ikhtiar yang telah
dilakukan pemerintah untuk mendorong komponen bangsa termasuk perguruan tinggi,
untuk memerangi korupsi secara massif dan sistematis. Menyangkut hal demikian, perlu diberikan
apresiasi dan penghargaan kepada Ditjen Dikti Kemendikbud dan KPK yang telah
memfasilitasi perguruan tinggi untuk membuat buku ajar yang berisi materi dasar
mata kuliah Pendidikan Anti-Korupsi bagi mahasiswa, dan secara berkelanjutan Ditjen
Dikti dan KPK telah menyelenggarakan pelatihan bagi para dosen (ToT)
pengampu mata kuliah Pendididikan anti
korupsi. Kita berharap adanya komitmen pemerintahan Jokowi-JK untuk meneruskan program
mulia ini, sebagai ikhtiar suci memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya. Sebagai akhir dari tulisan ini, kita yakin dan
optimis bahwa “Revolusi mental”
yang dicanangkan oleh presiden terpilih Joko Widodo akan memberikan “angin
segar” dan “amunisi” dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar