Artikel ini menjelaskan pandangam postmodern terhadap diskursus
teori positif dan Normatif dalam mengkonstruksi teori akuntansi. Postmodern
sebagai paradigma alternatif dan holistik juga diulas dalam artikel ini.
Sebagai paradigma yang mengedepankan pluralitas dan anti metanaratif,
postmodern cukup cocok untuk dijadikan perspektif dalam menilai sejauhmana
peran teori akuntansi positif dan normative dalam menjawab permasalahan
akuntansi dewasa ini. Akuntansi normative pada masanya telah mendominasi berbagai
penelitian dan praktek akuntansi, ketika akuntansi normative telah usang, akuntansi
positif datang untuk menggeser dominasi normative, karena akuntansi normative
tidak lagi ampuh untuk menjawab permasalahan Accounting Empirical. Dominasi Akuntansi Positif yang kemudian
tidak mengakomodir pendekatan sebelumnya, dipandang suatu yang metanaratif,
eksklusif dan parsial oleh postmodern. Postmodern yang merupakan suatu
pendekatan yang pluralistic dan anti meta naratif mengajurkan adanya suatu
modifikasi dan saling melengkapi antar berbagai pendekatan dan teori yang ada,
jawaban atas semua permasalahan baik normative dan empiris akan terjawab secara
holistik pada artikel ini.
Keyword :
Akuntansi normative, Akuntansi Positif, Postmodern
Pengantar
Kritik dengan multi paradigma atas teori akuntansi
positif maupun normatif oleh banyak kalangan yang interest terhadap pengembangan ilmu akuntansi telah banyak mewarnai diskursus pemikiran teori akuntansi.
Perdebatan yang paling dominan akhir-akhir ini adalah teori akuntansi normative
yang identik dengan jargon Das Sein
dan Teori Akuntansi Positif (Das Solen). Dalam
perkembangannya, teori akuntansi positif lahir sebagai antithesis terhadap
teori akuntansi normative yang tidak mampu menjawab beberapa persoalan empirikal
dan tidak dapat menghasilkan teori akuntansi yang siap dipakai didalam praktek
sehari-hari (Januarti, 1997). Sebelum akuntansi positif lahir, pada tahun 1960,
penelitian akuntansi banyak didominasi oleh teori akuntansi normative, sehingga
dalam penyusunan standar akuntansi dan praktek akuntansi lebih bersifat
normative dan preskriftif tanpa melakukan pengujian empiris terhadap metode dan
teknik yang terapkan (Godfrey, at al, 1997). Secara ontologis teori
akuntansi positif mengadopsi paham realis dan sangat menentukan epistomologis
dan metodologis yang digunakan. Secara metodologi, teori akuntansi positif
mengikuti paradigm positivistic dan modern, artinya menggunakan metode seperti
ilmu eksak, dengan demikian teori akuntansi positif bersandar pada maksimalisasi
utilitas yaitu setiap individu memiliki tujuan hanya untuk memenuhi
kepentingannya sendiri (Salampessy, 2007).
Teori normatif dan teori sintaktik menekankan pada penggunaan
rasio dalam mencari kebenaran akuntansi. Pandangan ini dipengaruhi secara kuat
oleh aliran rasionalisme. Sedangkan teori positif dan teori deskriptik
berpandangan bahwa pengetahuan yang sesungguhnya hanya dapat diperloleh dengan
mengamati perilaku akuntan. Pandangan ini dipengaruhi secara kuat oleh aliran
empirisme. Dalam teori positif, pengetahuan yang diperoleh melalui pengamatan
harus diuji lebih jauh lagi dengan menggunakan alat-alat statistic, dengan
demikian Pengetahuan diperoleh dengan pengujian hipotesis (Butar-butar, 2011
Hendriksen dan Sinaga (1994) menjelaskan bahwa
teori-teori normatif bersifat parsial dan dimaksudkan untuk mendukung
kesimpulan mengenai prosedur-prosedur khusus saja, maka ada kebutuhan untuk
mengembangkan kerangka teori akuntansi untuk mendorong pengembangan secara
logis akan prinsip dan praktik akuntansi dan untuk menilai praktik-praktik yang
sedang berjalan. Pergeseran pendekatan yang digunakan dalam membangun teori
akuntansi, dari pendekatan normatif ke pendekatan positif berimplikasi pada
dominasi teori akuntansi positif dalam setiap penelitian akuntansi pada tahun
1970-an, bahkan Fuchs dan Sandoval (2008) menunjukkan dominasi
pemahaman positivistic critic dan memberikan implikasi
untuk desain kurikulum dan tindakan pedagogis. Meskipun demikian, pergeseran teori akuntansi dari yang pendekatan normative ke pendekatan
positif yang terjadi tidak kemudian menjadikan teori akuntansi positif bebas
nilai, sehingga riset empiris dalam teori akuntansi positif cendrung berpijak
pada pendekatan normative (Riduwan, 2007). Hal tersebut senada dengan yang diungkapkan oleh Suwarjono (2012)
bahwa akuntansi yang dikenal luas sekarang ini direkayasa atas dasar premis
bahwa informasi ditujukan untuk investor dan kreditor yang efeknya agar
investor dan kreditor mau menanamkan modalnya di perusahaan, dengan kata lain
bahwa praktek akuntansi yang dasari dengan teori akuntansi positif tidak bebas
nilai. Dalam pandangan postmodern Perbedaan pendekatan dalam
membangun sebuah teori khususnya dalam akuntansi merupakan bagian dari
dealektika dalam mencari jawaban atas permasalahan yang dihadapi secara lebih
komprehensif (holistik), dan tidak
lagi terjadinya dominasi atau tindakan
menguniversalkan suatu pendekatan tertentu (Haryadi, 2008)
Pendekatan
Normative dalam Teori Akuntansi \
Watts dan Zimmerman (1986) menjelaskan teori normatif
sebagai berikut : teori normative berusaha menjelaskan informasi apa yang
seharusnya dikomunikasikan kepada para pemakai informasi akuntansi dan
bagaimana akuntansi tersebut akan disajikan. Jadi teori normative berusaha
menjelaskan apa yang seharusnya dilakukan oleh akuntan dalam proses penyajian
informasi keuangan kepada para pemakai dan bukan menjelaskan tentang apakah
informasi keuangan itu dan mengapa hal tersebut terjadi.
Teori normative adalah apa yang seharusnya terjadi.
Apakah teori normative akan mempunyai daya prediksi yang baik tergantung pada
sejauhmana individu secara nyata membuat keputusan sesuai dengan teori yang
digambarkan. Tidak seperti teori positif, teori normative tidak mengharuskan kriteria
mempunyai kemampuan prediksi. Sesungguhnya kedua pendekatan tersebut saling
melengkapi satu sama lain (Scoot, 2009)
Menurut Nelson dalam Januarti (2004), bahwasanya teori normatif sering dinamakan teori apriori
(dari sebab ke akibat dan bersifat deduktif). Teori normatif bukan dihasilkan
dari penelitian empiris tetapi dihasilkan dari kegiatan semi research. Teori akuntansi normative ingin menjawab apa
yang seharusnya dilakukan oleh akuntansi dalam praktek sehari-hari, jadi
akuntansi normative akan menjawab pertanyaan mengenai berapa besar biaya,
pendapatan, asset, utang dan modal yang harus disajikan dalam laporan keuangan
(Ghozali, 2004)
Pendekatan
Positif dalam Teori Akuntansi
Ritzer dan Goodman (2007)
menjelaskan bahwa dalam perkembangannya Auguste Comte sebagai bapak
positivisme, mengembangkan teori evolusinya berdasarkan tiga tingkatan, yaitu
tahap teologis, tahap metafisik dan terakhir adalah tahap positivistik. Teori
ini menjelaskan bahwa dunia, kelompok
masyarakat, ilmu pengetahuan, individu, dan bahkan pemikiran akan berkembang
melampaui tahap teologi dan tahap metafisik dan mencapai puncak pada tahap
positivistik yang ditandai dengan keyakinan terhadap ilmu sains (science). Teori
ini yang kemudian mendasari pengembangan teori positif menjadi suatu teori yang
dapat memecahkan permasahan dalamilmu social, termasuk akuntansi.
Berdasarkan perkembangan
pendekatan yang digunakan dalam memecahkan permasalahan social khususnya dibidang akuntansi, teori positif
lahir tidak dapat dilepaskan dari ketidakpuasan terhadap teori Normative,
karena dasar pemikiran yang digunakan dalam membentuk teori terlalu sederhana
(Watt & Zimmerman,1986). Terdapat
tiga alasan mendasar kenapa perlu adanya perubahan pendekatan dalam membangun
teori akuntansi, yaitu (Watt & Zimmerman,1986 ) : Pertama, ketidakmampuan
pendekatan normatif dalam menguji teori secara empiris, karena didasarkan pada
premis atau asumsi yang salah sehingga tidak dapat diuji keabsahannya secara
empiris. Kedua, pendekatan
normatif lebih banyak berfokus pada kemakmuran investor secara individual
daripada kemakmuran masyarakat luas. Ketiga, Pendekatan
normatif tidak mendorong atau memungkinkan terjadinya alokasi sumber daya
ekonomi secara optimal di pasar modal. Hal ini mengingat bahwa dalam sistem
perekonomian yang mendasarkan pada mekanisme pasar, informasi akuntansi dapat
menjadi alat pengendali bagi masyarakat dalam mengalokasi sumber daya ekonomi
secara efisien.
Teori akuntansi positif berusaha untuk membuat prediksi yang baik sesuai
dengan kejadian yang nyata. Sebagiman Scott (2009 : 284) mengungkapkan dalam bukunya :
Teori
akuntansi positif adalah berhubungan dengan prediksi yaitu suatu tindakan
pemilihan kebijakan akuntansi oleh manajer perusahaan dan bagaimana manajer
perusahaan akan merespon untuk mengajukan standar akuntansi yang baru.
Lebih
lanjut Godfrey et.al (1997) dalam Januarti (2004) menyatakan bahwa teori
akuntansi positif berusaha menjawab antara lain pertanyaan berikut dari sudut
pandang ekonomi. :
Pertama, Apakah
biaya yang dikeluarkan sebanding dengan manfaat yang diperoleh dalam pemilihan
metode akuntansi alternatif. Kedua, Apakah
biaya yang diperoleh sebanding dengan manfaat yang diperoleh dalam regulasi dan
proses penentuan standar akuntans. Ketiga, Apa
dampak laporan keuangan yang dipublikasikan pada harga saham
Untuk
lebih memahami Teori akuntas positif, berikut formula dari
Watts dan Zimmerman (1986) dalam Scott
(2009 : 287) terdapat 3 hipotes yang terkandung di dalamnya, yaitu:
Pertama, Hipotesis bonus
plan, yakni apabila manajer perusahan ingin mendapatkan bonus berdasarkan laba
akuntansi, maka manajer perusahaan akan memilih kebijakan akuntansi yang akan
memenuhi kepentingannya, yaitu dengan menggeser laporan laba periode mendatang
ke periode sekarang. Kedua, Debt Covenant Hypothesis, yakni perusahaan
cenderung untuk menurunkan rasio utang/ekuitas dengan cara meningkatkan laba
periode sekarang dengan menggeser dari laba-laba periode mendatang. Motivasi
perusahaan melakukan ini adalah untuk menghindari kedekatan terhadap debt covenant dan untuk mendapatkan suku
bunga pinjaman yang lebih rendah, karena semakin rendah rasio/ekuitas semakin
rendah risiko kebangkrutan perusahaan. Ketiga, Political Cost Hipothesis,
yaitu perusahaan
cenderung memperkecil tingkat laba sekarang dengan menggeser laba sekarang ke
laba periode mendatang tujuan menghindari tekanan politik seperti tuduhan
monopoli dengan menunjukkan laba perusahaan tidak berlebihan seperti yang
dicurigai, melobi ke konggres untuk melindungi industri dari barang impor yang
menyebabkan keuntungan industri merosot, menghindari tuntutan serikat kerja
dengan menunjukkan bahwa laba perusahaan menurun dan lain sebagainya.
Perusahaan dapat menurunkan laba dengan merubah metode atau prosedur akuntansi Dalam bukunya, (Scott, 2009 :
290) mengungkapkan bahwa Banyak penelitian yang telah membuktikan ketiga
hipotesis yang dikemukakan oleh Watt & Zimmerman, antara lain : Pertama, Healy
(1985) dengan hipotesis perencanaan bonus, yang menghasilkan bukti para manajer
yang mendasarkan bonusnya pada income netto dilaporkan secara sistematis
menggunakan kebijakan akuntansi accrual untuk pelaporan pendapatannya
sehingga dapat memaksimalkan bonus. Kedua, Sweeney (1994) dengan hipotesis perjanjian hutang,
dihasilkan bukti bahwa perusahaan sering melanggar perjanjian hutang dalam
bentuk pemeliharaan modal kerja dan ekuitas pemegang saham. Ketiga, Jones (1991) mengkaji perubahan perusahaan untuk
menurunkan income netto yang dilaporkan untuk keringanan impor.
Pemberian keringan impor pada perusahaan tidak adil karena dipengaruhi oleh
kompetisi asing, sebagian merupakan keputusan politik. Keempat, Lev (1979) dalam hipotesis bonus — debt convenant adanya
kecenderungan manajer menjadi opportunistik dengan menyelamatkan bonus dan
mengabaikan perubahan debt convenant ketika effisiensi pasar yang
diharapkan bereaksi negative
Selanjutnya
Scott (2009) menjelaska bahwa tiga hipotesis yang dinyatakan diatas adalah
suatu bentuk oportunistik, mereka mengasumsikan bahwa manajer memilih kebijakan
akuntansi untuk memaksimalkan harapan mereka. Hipotesis ini juga dinyatakan
sebagai suatu bentuk efisiensi, yang mengasumsikan bahwa sistem pengendalian
internal termasuk monitoring direktur utama, keterbatasan kesempatan, dan
motivasi manajer untuk memilih kebijakan akuntansi yang meminimalkan biaya
kontrak. Konsekuensinya, sulit untuk memberitahu apakah perusahaan dalam
memilih kebijakan akuntansinya mempertimbangkan oportunistik atau efisiensi.
Tiga hipotesis tersebut
menunjukkan bahwa akuntansi teori positif mengakui adanya 3 hubungan keagenan (1) antara
manajemen dengan pemilik, (2) antara manajemen dengan kreditur, (3) antara manajemen
dengan pemerintah (charirii dan Imam,
2003 dalam Januarti 2004). Masalah agency muncul disebabkan karena adanya asimetri informasi
antara agent dan principal, dimana agent lebih banyak mempunyai informasi
dibandingkan principal. sehingga menyebabkan adanya moral hazard (Belkaoui,
2000). Permasalahan tersebut, penulis akan mengulas dengan
pendekatan postmodern pada uraian berikutnya.
Sebagai
teori yang hadir setelah teori normatif, teori akuntansi positif tidak luput
dari beberap kritik atas pendekatan yang digunakannya. Berikut beberapa
peneliti yang melakukan kritik dan dikelompokkan menjadi 3 kelompok (Januarti, 2004) yaitu : (1) kritik terhadap filosofi, positif
menganut bahwa peneliti berada di luar area penelitian serta memakasimalkan utilitynya.
Hal ini tidak mungkin terjadi karena peneliti selalu berada pada area yang
ditelitinya dan maksimalitas utility tidak mungkin dicapai hanya sebatas
pada kepuasan (Simons dalam Januarti, 2004).
(2) kritik terhadap metodologi, teori positif menganut pendekatan bahwa
maksimalisasi keuntungan dapat diperoleh melalui harga keseimbangan pasar. Hal
ini tidak mungkin karena penelitian dengan harga keseimbangan pasar sangat
sedikit pengaruhnya terhadap kontribusi penelitian akuntansi. (3) kritik
terhadap penelitian dengan pendekatan ekonomi, yaitu pemaksimalisasi individu
yang tidak mungkin atau tidak mudah untuk menghitungnya.
Kritik di atas, membuktikan bahwa
terdapat kelemahan yang kemudian memungkinkan teori baru hadir dengan berbagai
macam pendekatan yang digunakan.
Postmodern
sebagai Pendekatan Alternatif dalam Akuntansi
Postmodernisme adalah faham yang berkembang setelah era modern dengan modernismenya. Postmodernisme bukanlah faham tunggal sebuah teori,
namun justru menghargai teori-teori yang bertebaran dan sulit dicari titik temu
yang tunggal. (Sugiharto,1996)
Postmodernisme tidak selalu menggantikan modernisme
seluruhnya. Sebaliknya, itu merupakan modifikasi modernisme (Koornhof & De Villiers De, 1999).
Menurut Lyotard dalam buku Bertens (2001 : 351), bahwa Postmodern tidak dapat
dimengerti sebagai permulaan baru, sebagai mulainya periode berikutnya.
Posmodernitas mengungkapakan beberapa perkembangan dan transformasi tertentu
yang berlangsung dalam rangka modernitas itu, dengan demikian Postmodern tidak
menunjuk kepada suatu keadaan, melainkan kepada suatu tugas, kepada apa yag
harus dikerjakan sekarang.
Adapun dasar pemikiran postmodernisme adalah :
Pertama, Postmodernisme tidak mencari kebenaran yang bersifat
mutlak dan universal, melainkan kebenaran yang pluralistik atau beraneka ragam
dan relatif secara radikal (Cooper 1996). Artinya bahwa kaum postmodernis
percaya bahwa tidak ada sebuah kebenaran yang bersifat mutlak. Demikian dalam
ilmu akuntansi yang termasuk ke dalam ilmu sosial yang dinamis yang selalu
menghadirkan banyak perspektif dan tanggapan, sehingga tidak akan ada suatu
kebenaran utuh mengenai suatu fenomena. Jackson & Sorensen (1999) bahkan
menyebutkan bahwa ilmu sosial tidak netral, melainkan, ilmu sosial adalah
historis, budaya, politis, dan karena itu bias. Hal tersebut dapat dilihat
bahwa setiap teori memutuskan untuk dirinya sendiri apa yang dianggap sebagai
“fakta”, sehingga tidak ada titik acuan yang netral, utuh, atau bebas untuk
memutuskan di antara pernyataan empiris yang bertentangan, sehingga kaum
postmodernis beranggapan bahwa teori empiris adalah mitos (Jackson &
Sorensen 1999, 304).
Kedua, Postmodernis percaya bahwa pengetahuan dan power
sangat berkaitan, sehingga pengetahuan sama sekali tidak kebal dari bekerjanya power
atau kekuasaan (Foucault dalam Smith 1997, 181). Hal ini dapat dilihat dari
salah satu metode yang digunakan oleh kaum postmodernis, yaitu metode
geneologis yang lebih menyoroti singularitas dalam peristiwa-peristiwa untuk
menyingkap pemikiran bahwa seluruh sejarah ditulis oleh mereka yang memiliki power
(Smith 1997, 181). Hal tersebut menunjukan bahwa kebenaran suatu sejarah adalah
relatif bukan absolut karena hal tersebut berdasarkan sudut pandang penulis
sejarah tersebut.
Ketiga,Posmodernism identik dengan dekonstruktivisme, yaitu
mereka tidak mempercayai suatu hal yang berkaitan dengan metanaratif, dimana
metanaratif adalah pemikiran seperti neorealisme atau neoliberalisme yang
menyatakan telah menemukan kebenaran tentang dunia sosial (Jackson &
Sorensen 1999, 303).
Atas dasar pemikiran di atas,
tidak berlebihan kalau penulis menjastifikasi bahwa Postmodern merupakan cara
pandang yng lebih holistik dan menyeluruh dengan tanpa menapikan beberap
pandangan yang lain, seperti yang diungkapkan oleh Triyuwono (2006) bahwa paradigma
posmodernis bisa dikatakan telah mampu memahami realitas sosial, hakikat
manusia dan ilmu pengetahuan dan metodologi secara sangat inklusif (terbuka),
holistik, transedental, teleologikal dan humanis. Sehingga pada gilirannya
dampak yang diciptakannya adalah manusia dapat dengan bebas berkreasi
menciptakan instrumen pengetahuan dalam upayanya mengkonstruksi ilmu
pengetahuan tersebut. Manusia dapat membuat rancang bangun instrumen
pengetahuan dengan lebih bebas, fleksibel, dan bervariasi tergantung pada
pengetahuan apa yang sedang dibangunnya.
Postmodern juga merupakan paradigma
yang ini tidak berupaya menguniversalkan gagasan atau pengetahuan menjadi
ralitas sosial yang seragam, namun yang lebih arif adalah mengangkat dan
menghargai nilai-nilai lokal yang ada dalam masyarakat dan disinergikan menjadi
sebuah kekuatan yang utuh dan terpadu dalam mengkonstruksi sebuah pengetahuan
atau realitas. Peng-universal-an dalam paradigma ini hanyalah akan
membawa malapetaka bagi nilai-nilai lokal dan masyarakatnya. Demikian dengaan
tujuan Postmodern sangat menghargai dan menjunjung tingg nilai-nilai
kemanusiaan, dimana hakekat manusia merupakan satu kesatuan dengan
lingkungannya, tidak lagi manusia menjadi objek tapi menjadi subyek dalam
perubahan (Haryadi, 2008)
Pandangan
Posmodern terhadap Diskurus Teori Akuntansi Normatif dan Positif
Berdasarkan pengantar di atas,
bahwasanya Postmodernisme tidak selalu menggantikan modernisme
seluruhnya. Sebaliknya, itu merupakan modifikasi modernisme (Koornhof & De Villiers De, 1999) dan
Lyotard dalam buku Bertens (2001 : 351). Artinya bahwa bangunan teori
normative yang kemudian digantikan oleh teori positif merupakan sebuah langkah
untuk melengkapi apa yang menjadi kelemahan teori normative adalah hal yang
menjadi anjuran postmodern.
Postmodernis yang memandang bahwa ilmu-ilmu
pengetahuan (empiris khususnya) bukanlah merupakan satu-satunya standar
kebenaran tertinggi dan Postmodernisme tidak mencari kebenaran yang bersifat
mutlak dan universal, melainkan kebenaran yang pluralistik atau beraneka ragam
dan relatif secara radikal (Cooper 1996). Hal tersebut telah menimbulkan
konsekuensi yang yang signifikan dimana nilai-nilai moral-religius lebih
dijunjung tinggi dan berwibawa dalam pandangan manusia itu sendiri. Hasilnya
adalah timbulnya orientasi moral-religius yang tinggi dan berkualitas dan pada gilirannya
membawa peningkatan nilai-nilai kesantunan, kebersamaan, kearifan, mentalitas
dan sebagainya (Haryadi, 2008). Dengan berpandangan seperti itu maka ini
berarti bahwa alternative solusi bisa digali dari berbagai macam pemikiran,
pendekatan dan paradigma dalam mencari jawaban atas permasalahan baik yang
bersifat normative maupun empiris. media dan sifat dari kebenaran itu sendiri
tidaklah mutlak adanya.
Posmodernism identik dengan
dekonstruktivisme, yaitu mereka tidak mempercayai suatu hal yang berkaitan
dengan metanaratif (Pengkultusan atas satu pendekatan dengan meniadakan
pendekatan yang lain), dimana metanaratif adalah pemikiran seperti neorealisme
atau neoliberalisme yang menyatakan telah menemukan kebenaran tentang dunia
sosial (Jackson & Sorensen 1999, 303). Atas pemikiran terkait postmodern
tersebut, bahwasanya Perdebatan apakah
Teori normative dan positif sebagai pendekatan yang paling unggul, bagi
postmodern adalah suatu hal yang naif dan menjadi parsial (tidak holistik)
dalam memecahkan permasalahan, sebab teori Normatif memiliki permasalahan
sendiri yaitu tidak memiliki daya
prediktif yang kuat dan tidak mampu menjawab permasalahan empiris. Demikian
juga dengan Teori positif dihadapkan dengan persoalan normative, yaitu otonomi
yang berlebihan dengan berstandar pada maksimalisasi utilitas yaitu setiap
individu memiliki tujuan hanya untuk memenuhi kepentingannya sendiri
(Salampessy, 2007) sebagai misal, dalam teori akuntansi positif diberikan dalam
memilih kebijakan dan metode dalam praktek akuntansi, sehingga menurut Scott
(2009), suatu tindakan pemilihan
kebijakan akuntansi oleh manajer perusahaan akan berimplikasi pada tindakan
oportunistik sesuai dengan apa yang diformulasikan oleh Watts dan Zimmerman dalam setiap hipotesis Teori
akuntansi positif. Teori akuntansi yang
dibangun dengan pendekatan positif memberikan implikasi terhadap praktek
akuntansi baik ”positif” maupun ”buruk”, demikian juga dengan teori akuntansi
normatif. Sebagai Alternatif dalam perbedaan pendekatan yang digunakan dalam
membangun teori adalah Postmodern.
Simpulan
Diskursus Teori akuntansi dengan
pendekatan normatif dan positif menambah khazanah pengetahuan tentang teori
akuntansi dengan multi paradigma. Perdebatan
antara normative dan positif sebagai pendekatan dalam membangun teori akuntansi
merupakan salah satu dinamika yang memberikan pengaruh yang besar dalam
perkembangan Teori Akuntansi.
Teori akuntansi positif berusaha
untuk memahami dan memprediksi pilihan kebijakan akuntansi perusahaan.
Sedangkan Teori Akuntansi normatif menjelaskan kebijakan apa yang diterapkan
tanpa adanya pembuktian empirik apakah memberikan manfaat ataukah tidak.
Postmodern sebagai suatu paradigm tidak selalu menggantikan modernisme
seluruhnya. Sebaliknya, itu merupakan modifikasi modernisme. Artinya bahwa bangunan teori
normative yang kemudian digantikan oleh teori positif merupakan sebuah langkah
untuk melengkapi apa yang menjadi kelemahan teori normative adalah hal yang
menjadi anjuran postmodern.
Postmodernis yang memandang bahwa ilmu-ilmu
pengetahuan (empiris khususnya) bukanlah merupakan satu-satunya standar
kebenaran tertinggi dan Postmodernisme tidak mencari kebenaran yang bersifat
mutlak dan universal, melainkan kebenaran yang pluralistik atau beraneka ragam
dan relative.
Dengan demikian, Postmodern sebagai suatu perspektif sekaligus
paradigm dalam memandang pertentangan anatar noramatif dan positif dapat terselesaikan, bilamana kita
mengedepankan azas puralistik dalam menggunakan setiap pendekatan. Ketika pendekatan
yang digunakan dalam memecahkan permasalahan akuntansi, baik normative, positif
maupun pendekatan lainnya memiliki relevansi dalam menjawab pesoalan, maka kita
dapat menggunakannya tanpa harus mengunggulkan satu teori dibandingkan teori
yang lain. Sebab paradigm postmodern sangatlah anti akan metanaratif dan
mengedapankan penggunaan berbagai macam
pendekatan agar persoalan terjawab secara komprrehensif.
DAFTAR PUSTAKA
Belkaoui, Riahi, Ahmad. (2000). Accounting Theory. Ed. Fourth, Thomson Learning.
Bertens, K. (2001) Filsafat
Barat Kontemporer. PT Gramedia
Utama. Jakarta
Butar-butar, Sansaloni.
(2011). Memahami akuntansi dari Perspektif Historis. Dinamika
Sosial Ekonomi. Volume 7 Nomor 2 Edisi November 2011
Cooper, R. (1996). The Post-Modern State and The World
Order. London : Demos.
Fuchs, Christian & Sandoval.
(2008). Positivism, Postmodernism, or Critical Theory? A Case Study of
Communications Students' Understandings of Criticism. Journal for Critical Education Policy Studies Volume 6, Number 2. ISSN 1740-2743
Godfrey J., Allan H, Scott H.(1997). Accounting Theory. Jacaranda Wiley LTD
Haryadi, Bambang. (2008). Posmodrnisme : Sebuah
Keutuhan Dari Paradigma. Jurnal Akuntansi, Manajemen Bisnis dan
Sektor Publik : Volume 4 No. 2
Hendriksen, E. S., & M, Sinaga. (1994). Teori
Akuntansi. Edisi Keempat. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Jackson,
Robert & Sorensen, Georg. 1999. Introduction to International Relations.
New York : Oxford University Press.
Januarti, Indira. (2004). Pendekatan dan Kritik Teori
Akuntansi Positif. Jurnal Akuntansi
Auditing : Volume 01/ No. 01. Universitas Diponogoro, Semarang
Koornhof &
Villiers De. (1999). Postmodernism and accounting: Mirror or myth?. Meditari Accountancy Research
Vol. 71999: Review,
Vol. 65
Ritzer, George., & D, J. Goodman. (2007). Teori
Sosiologi Modern. Terjemahan. Edisi Keenam. Jakarta: Penerbit Kencana
Salampessy, Zulkarim. 2010.
Kritik Terhadap Teori Akuntansi
Positif. Jurnal El-Muhasaba. Vol 1, No. 2.07. Universitas Brawijaya Malang
Scott, William R. (2009) Financial Accounting Theory. Pearson Canada Inc. Toranto, Ontario.
Smith, S. (1997). New
Approaches to International Theory,
in J. Baylis and S. Smith (eds), The Globalization of World Politics.
Oxford: Oxford University Press
Sugiharto,
Bambang I. (1996) Postmodernisme,
Tantangan Bagi Filsafat. Kanisius. Yogyakarta.
Suwardjono, (2012). Teori Akuntansi : Perekayasaan Laporan Keuangan. BPFE Yogyakarta.
Triyuwono,
Iwan. 2006. Akuntansi Syariah: Menuju Puncak Kesadaran Ketuhanan Manunggaling
Kawulo Gusti. Pidato Pengukuhan Guru Besar. Unibraw.
Watts and Zimmerman, 1986, Positive
Accounting Theory, Prentice Hall